Diandra duduk terpaku menatap satu titik di depannya. Badannya bergoyang lesu tanpa sadar. Angin sepoi-sepoi meniup lembut wajahnya yang syahdu. Rambutnya diikat namun tetap saja masih ada yang terurai.
Di teras ini.. di bangku yang sama.. Diandra terus melakukan hal yang sama.. setiap pagi dan sore.

“Di, makan dulu ya.. Mbah masak sup jamur kesukaanmu.”
Mbah Dira melakukan rutinitasnya. Menyuapi Diandra. Yang disuapi tetap diam menggendong bonekanya. Mengemut setiap suapan nasi yang bersarang lama di mulutnya.

Tiga tahun yang lalu hari-hari Diandra penuh keceriaan dan semangat baru yang tidak pernah habis. Teriakan gemas dan gelak tawa mewarnai masa SMAnya denga Foza, Lala, dan Agatha. Sejuta aktivitas dan mimpi-mimpi mereka selalu menjadi senyuman indah yang penuh harapan.
Tapi kebahagiaan itu sekarang hilang. Berubah menjadi petaka yang sangat menyayat hati.
Malam yang dingin menciptakan kerinduan yang sangat mendalam. Siang yang terik menarik ingatan akan indahnya masa lalu. Keceriaan itu hilang entah ke mana. Mungkin ke langit tingkat tujuh.

Sejak kelas 2 SMA Diandra selalu kena saluran amarah Papanya. Hanya persoalan kecil yang kemudian dibesar-besarkan. Ditimpal keluhan Mamanya, entah apa yang diucapkan Mamanya, Diandra tidak mengerti. Selama ini Mamanya tidak pernah menegur atau apa pun, tapi tiba-tiba memprotes kelakuannya dan mengungkit-ngungkit kesalahan dua atau tiga tahun yang lalu. Dan kejadian ini tidak hanya terjadi tiga atau empat kali. Orang tuanya selalu menuntutnya menjadi seorang gadis yang sempurna.

Sejak itu pikiran Diandra mulai terbeban. Bukannya bodoh dan gadis nakal, dia cukup pintar dan kelakuannya pun manis. Tapi orang tuanya selalu menilai dia dari segi negatif. Diandra yang malang, bahkan orangtuanya pun tak mempercayainya. Masa perkembangan jiwanya pun labil, Diandra berjalan sendiri mencari jati diri dan menemukan karakternya yang lemah dan terlihat bodoh di depan semua orang. Minder dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan susah payah. Orang tuanya menuntut, menuntut, dan menuntut.. Dia hanya pasrah dan melakukan apa pun sesuka hatinya. Karena dia tidak menemukan lagi kebahagiaan, hanya semu, dan kemunafikan yang diciptakan oleh keluarganya.

Malam itu Diandra tidak pulang. Seluruh isi rumah takut dan bingung. Bukan hanya takut Diandra hilang, tapi takut karena Papa Diandra sudah mengamuk memarahi seisi rumah. Semua teman, saudara, bahkan kampus sudah dihubungi tapi tetap tidak ada yang tau ke mana Diandra. Anak buah Papa Diandra pun sudah mulai dikerahkan untuk mencari. Mama terus mencuap, mencak-mencak ikut membuat suasana semakin tidak nyaman. Tiara dan Gilang berdiri kaku sambil coba menghubungi kakaknya. Mbah Dira hanya bisa duduk mematung berdoa memohon keselamatan Diandra. Suasana bertambah tegang ketika emosi Papa sudah tak tertahankan lagi dan Mama pun malah ikut-ikutan emosi, marah dan mengungkit semua kesalahan anak-anaknya. Kesabaran pun hilang, Papa mengambil golok hendak pergi ke rumah Rio. Tiara dan Gilang saling berpandangan, mereka semakin bingung, ketakutan mereka memuncak. Kunci mobil diambil, pintu rumah dibuka, Papa keluar dengan goloknya. Tiara dan Gilang mengikuti Papanya hendak melarang tapi tetap saja, mereka enggak punya keberanian untuk menghentikan Papanya apalagi melarang, mereka ga punya kuasa. Malam semakin larut, suasana rumah semakin kacau, Mama malah terus mendukung Papa, bahkan mengajak Tiara untuk menunjukkan rumah Rio. Tiara bingung, bingung sekali. Ingin rasanya dia teriak meminta orangtuanya menghentikan makian yang selalu mereka lakukan pada ketiga anaknya, tapi tetap saja keberanian itu terkubur dibawah tubir laut. Lantai rumah pun berubah menjadi lautan pecahan gelas, asbak, vas bunga, dan entahlah apa itu…..

Dua hari. Tiga hari. Akhirnya Diandra ditemukan. Entah dengan cara apa mereka menemukan Diandra tapi yang jelas malam itu Diandra disidang. Amukan dan tekanan darah tinggi memekikkan kemarahan yang luar biasa. Diandra hanya duduk menunduk, mengepal erat jemarinya di bawah bantal. Ketakutan menyelimuti dirinya. Hinaan, makian, direndahkan, bahkan pukulan, tamparan, dijenggut dan diseret menimpa anak pertama dari tiga bersaudara itu.
Lidah Diandra kaku.. dia tak dapat menjawab introgasi berderet yang disertai amukan kedua orangtuanya. Suaranya tak dapat keluar tertahan tangis yang disimpannya berjam-jam..tapi air mata itu menetes juga..tak mampu lagi mata ini membendungnya. Sakitnya pukulan diterima Diandra dengan penuh keikhlasan. Sabetan gesper, lemparan bantal kursi, akh..semuanya menghujani tubuh Diandra malam itu.
”Jawab!!! Kenapa kabur dari rumah?!! Jawaaab!!!” teriakkan Papanya yang kesekian kali setelah ia diseret ke lantai.
“Takut Pa..takut…” jerit tangis Diandra menghindari pukulan Papanya.
“Takut apa kamu?? Hah????!!! Bener yang Papa bilang tadi??!! Ia?!! Jawab!! Ia?!! Bilang!! Jangan diam aja!!!!!” pukulan Papa semakin bertubi-tubi disertai Mamanya yang terus mengoceh membuat suasana semakin panas.
“Ia Pah..ia….” ia terus menangis. Membiarkan tubuhnya dihujani sabetan gesper sampai biru-biru.
Tak dapat menahan emosi, Papa pun melayangkan tendangannya. Diandra sadar dan dia siap menghindar. Terlambat. Tendangan itu mengenai perutnya. Tendangan yang cukup keras.
Diandra teriak di sisa-sisa suaranya. Diam beku menahan sakit yang luar biasa. Perutnya melilit, dia merasakan kesakitan yang sangat-sangat sampai membuatnya sesak. Pucat, menahan rasa sakit itu. Akhirnya dia pun merasakan cairan hangat mengalir di sela kedua kakinya. Beberapa detik kemudian, dia tak sadarkan diri.
Mbah Dira, Tiara, dan Gilang langsung menghampiri tubuhnya yang lunglai, lemas tak berdaya.

Diandra segera dibawa ke rumah sakit.
“Keluarga pasien?”
Papa, Mama, Tiara, Gilang, dan Mbah Dira berdiri mengiakan pertanyaan dokter.
“Pasien selamat. Tapi..
Dokter menatap dalam keluarga Diandra, terutama pada Papa dan Mama. Seperti mengetahui kenyataan yang sedang terjadi.
“kandungannya mengalami pendarahan yang sangat besar.
Keluarga itu seperti tersambar petir mendengar kata kandungan. Berarti…
“Bisa tolong ke ruangan saya?” pinta dokter pada Papa dan Mama.

Sekali lagi dokter menatap orang tua pasien. Tak asing lagi pikir dokter, pasti habis terjadi keributan besar. Dan mungkin keributan itu takkan selesai kalau si pasien tidak mengalami pendarahan. Tubuhnya penuh luka dan memar. Dokter pun menahan emosinya, berusaha obyektif.

“Terjadi benturan keras pada perut pasien dan mengenai rahim. Jika dibiarkan akan berakibat fatal. Satu-satunya jalan terbaik adalah melakukan operasi pengangkatan rahim.” Jelas dokter sambil menatap seorang ibu yang duduk dihadapannya. Ibu yang terlihat sangat penuh kemarahan dan hati yang keras.

“Maaf Pak, Bu. Pasien memang selamat. Tapi mental dan kejiwaannya tidak akan normal seperti dulu. Pasien mengalami stres berat, jiwanya terpukul. Mungkin luka dan memarnya suatu saat nanti akan hilang, tapi keutuhan jiwa dan mentalnya tidak akan kembali karena tekanan keras yang sangat lama dan selama ini dia pendam.”

Benar apa yang dikatakan dokter. Diandra tidak normal seperti dulu. Jiwanya terganggu. Pikirannya memang sudah melayang dari dulu, hatinya sudah menjadi serpihan-serpihan seperti hancuran beling yang dilempar Papanya selagi mengamuk. Mentalnya akh…dia tidak lagi seperti Diandra yang dikenal orang.. sahabat terbaik.. gadis periang dan murah hati.. pintar dan lincah.. mau melakukan apa saja.. tawanya yang selalu mengundang orang untuk tersenyum.. Sayang orang tuanya tak pernah mengerti itu!! Seandainya.. akh, sudahlah masa lalu bisa menyakitkan jika terus diingat.

Kini Diandra hidup di sebuah rumah kecil di kampung. Mbah Dira yang meminta diri untuk merawat Diandra. Dengan penuh kasih sayang dan air mata Mbah Dira merawat anak majikannya seperti anak sendiri.. Menemani Diandra dengan tingkahnya yang hanya diam duduk terpaku dan sekali-sekali menyebut.. “Mama..Papa..” “Rio..”

“Pegang kata-kata aku Di..aku akan bertanggung jawab apapun yang terjadi. Aku ga akan lari ninggalin kamu. Langsung hubungi aku kalau ada apa-apa, aku akan kembali ke Jakarta, nemenin kamu. Aku ga akan ninggalin kamu sendirian menderita. Tunggu aku Di.. Aku sayang sama kamu.” Rio mengecup keningnya. Di stasiun itu, saat Rio harus meninggalkan Jakarta untuk bekerja di Kalimantan, menjalankan dinas untuk tahun pertama dia ditempatkan setelah lulus dari sekolah tinggi milik pemerintah.

Pesan itu-pesan itu yang membuat Diandra terus duduk di bangku teras setiap pagi dan sore. Menunggu..dan menunggu. Menunggu pangerannya yang tak kunjung tiba.
Bagaimana mungkin Rio datang, dihubungi pun tidak. Diandra terlalu stres menghadapi masalah hidupnya 1 tahun yang lalu. Dan kini Diandra tak mampu lagi bicara.. Tak ada yang tahu pesan ini selain dirinya. Entahlah, apa yang bisa mempertemukan mereka..
Derita ini. Siapa yang memulainya lebih dulu?
Diandra..oohh Diandra..